Resensi Film : 3 Alif Lam Mim
Data/Identitas Film
Sutradara : Anggy Umbara
Produser : Arie Untung
Penulis : Anggy, Bounty, & Fajar Umbara
Pemeran : Cornelio Sunny, Abimana Aryasatya, Agus Kuncoro, Prisia Nasution, Tika Bravani, Cecep Arif Rahman, Donny Alamsyah, Verdi Solaiman, Tanta Ginting
Sinematografi : Dicky R. Maland
Penyunting : Bounty Umbara
Perusahaan produksi : FAM Pictures Multivision Plus
Distributor : Multivision Plus
Tanggal rilis : 1 Oktober 2015
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Pendahuluan
3 (juga dikenal sebagai 3: Alif Lam Mim) adalah film laga futuristik pertama di Indonesia yang dirilis pada 1 Oktober 2015 yang bercerita tentang persahabatan, persaudaraan, dan drama keluarga. Pada ajang Festival Film Indonesia 2015, film ini mendapatkan lima nominasi, yaitu Skenario Terbaik (Umbara bersaudara), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Tanta Ginting), Pemeran Anak Terbaik (Bima Azriel), Tata Suara Terbaik (Khikmawan Santosa dan Novi DRN), serta Efek Visual Terbaik (Sinergy Animation).
Sinopsis Film
Jakarta 2036, begitu banyak terjadi perubahan. Negara sudah kembali damai dan sejahtera sejak perang saudara dan pembantaian kaum radikal berakhir pada Revolusi tahun 2026. Hak asasi manusia menjadi segalanya. Penggunaan peluru tajam sebagai senjata sudah menjadi ilegal. Aparat menggunakan peluru karet untuk menangkap penjahat dan teroris yang masih tersisa. Satu dilema yang sangat menyulitkan bagi aparat mengingat beberapa kelompok radikal kembali bangkit dan berjuang untuk menganti wajah demokrasi sehingga aparat mengandalkan kemampuan bela diri yang tinggi untuk menumpas para penjahat.
Alif, Lam, dan Mim adalah tiga sahabat dari satu perguruan silat yang dibesarkan bersama di padepokan Al-Ikhlas. Alif (Cornelio Sunny) yang lurus dan keras dalam bersikap memilih menjadi aparat negara. Ia bertekad membasmi semua bentuk kejahatan dan mencari para pembunuh kedua orang tuanya. Lam (Abimana Aryasatya) yang sikapnya lebih tenang menjadi seorang jurnalis. Bertujuan untuk menyebarkan kebenaran dan menjadikan dirinya mata dari rakyat. Sementara Mim (Agus Kuncoro) yang bijak memilih mengabdi menjadi pengajar dan menetap di padepokan. Ketiganya dipertemukan kembali setelah terjadi kekacauan pasca ledakan bom di sebuah cafe.
Bukti-bukti versi kepolisian dan investigasi mengarah pada keterlibatan Mim beserta anak-anak padepokan. Namun Lam sebagai jurnalis mendapat informasi dari agen misterius yang berisi rekaman CCTV kejadian sebelum ledakan yang terjadi disebuah cafe. Rekaman tersebut menunjukkan bahwa ledakan yang terjadi adalah "skenario" dari agen profesional yang bertujuan melakukan "framing" dan mendiskreditkan umat Islam. Alif yang menerima bukti-bukti prematur dari atasannya harus menghadapi sahabatnya sendiri dan menghancurkan padepokan yang telah membesarkannya. Lam yang terjepit di antara kedua sahabat berusaha mencari titik temu demi menghindari kehancuran yang lebih parah. Mim memilih menghadapi para aparat dan rela mengorbankan jiwanya tanpa kompromi.
Alif, Lam, dan Mim dipaksa bertempur satu sama lain dalam mempertahankan dan memperjuangkan kebenarannya masing-masing, seraya harus terus menjaga keluarga dan orang-orang yang mereka hormati dan cintai.
Film ini merupakan suatu bentuk visualisasi dari pergulatan politik yang membutuhkan kambing hitam demi tercapainya kepentingan suatu pihak, sehingga apapun dan siapapun akan dikorbankan demi tercapainya kepentingan tersebut; termasuk orang-orang yang tidak bersalah, hingga agama dan umatnya.
Isi Film
Film Alif Lam Mim bercerita tentang persahabatan tokoh Alif, Herlam dan Mimbo. Mereka tumbuh bersama di sebuah padepokan silat bernama Al-Ikhlas. Lebih tepatnya Pondok Pesantren Al-Ikhlas yang dipimpin oleh Kiai Mukhlis. Walaupun sangat akrab, ketiganya memiliki cita-cita yang berbeda. Alif, bertekad untuk menjadi seorang aparat Negara yang dapat menegakkan hukum yang benar. Sedangkan Herlam (Lam) memilih untuk menyampaikan kebenaran lewat tulisan. Adapun Mimbo (Mim), memutuskan untuk mengabdikan kehidupannya sebagai seorang pengajar di Pondok Pesantren Al-Ikhlas. Meskipun jalan yang mereka pilih berbeda, akan tetapi mereka memiliki satu tujuan yang sama yaitu membela kebenaran dan memegang teguh idealisme.
Singkat cerita, pada akhirnya mereka dapat mewujudkan cita-cita tersebut. Alif dapat bergabung sebagai penegak hukum dalam pasukan elit Detasemen 38: 80-83, Lam menjadi seorang Jurnalis di Libernesia, dan Mim mengabdi sebagai ustadz di Pondok Pesantren Al-Ikhlas.
Kota Jakarta di tahun 2036, sungguh masih jauh dari bayangan kita. Mungkin akan ada banyak hal yang terjadi menjelang 20 tahun tersebut. Dalam film ini, tahun 2036 digambarkan sebagai akhir dari perang saudara dan pembantaian kaum radikal di Revolusi tahun 2026. Negara kembali damai sehingga hak asasi manusia dipandang sebagai hal yang sangat penting. Bahkan hal ini terlihat dari keputusan pihak penegak hukum untuk mengilegalkan penggunaan peluru tajam. Aparat Negara hanya menggunakan peluru karet untuk melumpuhkan penjahat dan teroris. Mau tak mau, akhirnya mereka harus menguasai ilmu bela diri yang mumpuni untuk meningkatkan efektivitas penumpasan kejahatan.
Film ini tercatat sebagai film laga futuristik pertama di Indonesia. Pada beberapa bagian dari film terlihat pemvisualisasian dari setting waktu dan lokasi yang cukup jeli. Contohnya terkait lingkungan Kota Jakarta di tahun 2036 dan aneka gadget yang mungkin akan digunakan di masa depan (hp dan kompter transparan, spy camera dari kontak lens). Begitu juga dengan penggambaran faham liberalisme yang berkembang di masyarakat. Ritual keagamaan yang mulai ditinggalkan karena dianggap kuno. Bahkan agama dicap sebagai pemicu kekerasan. Kelompok yang awalnya mayoritas, menjadi kelompok minoritas dimasa itu.
Konflik berawal dari kejadian pemboman di sebuah kafe. Alif bahkan nyaris menjadi salah seorang korban. Sedangkan Lam yang meliput kejadian menemukan berbagai kejanggalan dari kejadian tersebut. Hingga akhirnya mengantarkan Lam pada fakta ditemukannya botol-botol parfum yang diproduksi oleh pondok pesantren Mim di lokasi kejadian. Lam masih mencari berbagai fakta untuk melengkapi tulisannya, namun ia justru diminta untuk berhenti mengusut kasus tersebut dan ditugaskan meliput di luar Jakarta. Lam terjebak dalam pilihan antara resign atau menjalankan tugas peliputan di luar kota.
Keinginan Lam yang sangat kuat untuk mengungkap kasus tersebut membuatnya untuk memilih resign. Namun masalah berikutnya muncul. Spam tulisan Lam yang belum rampung mengenai kasus bom tersebar kepada beberapa awak media. Konten tulisan tersebut mengarahkan pada bukti bagi pihak aparat terkait keterlibatan Mim dan santri-santrinya sebagai tersangka utama. Sebagai seorang aparat Negara, Alif harus menjalankan perintah penangkapan bagi Mim atau pimpinannya. Sedangkan Lam terjebak dalam pertarungan antara menemukan kebenaran, menengahi persiteruan antara sahabat, dan ancaman keselamatan anggota keluarganya. Bahwa mereka mungkin sama-sama memegang kebenaran, namun kini berada dalam kubu yang berseberangan. Yang belum mereka sadari saat itu adalah orang-orang yang menyusun aneka intrik di belakang mereka.
Dilema semacam ini sangat mungkin terjadi dalam kehidupan kita. Setiap orang berusaha untuk memegang kebenaran dari sudut pandangnya masing-masing. Hingga pada akhirnya lupa untuk mencoba memahami sudut pandang orang lain. Perbedaan sudut pandang tentu akan sulit untuk dipersatukan, namun selalu ada win win solusion yang tidak menyakiti pihak manapun. Berusaha untuk sekedar meredam egoisme atas terwujudnya keinginan pribadi. Jika titik puncak persiteruan itu memanas dan tidak ada yang mengalah dengan kebenaran masing-masing, mungkin kita juga akan melafalkan kalimat yang sama seperti tokoh Letnan Bima yang diperankan oleh Donny Alamsyah.
Nilai Dakwah
Arie Untung selaku produser mengakui bahwa banyak hal dalam film ini terinspirasi dari kisah-kisah dizaman Rasulullah Muhammad SAW. Namun inspirasi tersebut dikemas ulang sesuai dengan konteks abad 21. Contohnya pada pemilihan angka Detasemen 38: 80-83, yang merupakan nama dari pasukan elit tempat Alif bernaung. Angka-angka tersebut bukan tanpa makna. 38: 80-83 merujuk pada Al-Qur’an surat ke 38 yaitu Shad ayat 80-83.
Artinya :
Allah ta'ala berfirman : “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh,
sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari Kiamat)”.
Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”.
Pemaknaan dari potongan ayat ini kemudian digambarkan dengan jelas pada salah satu adegan saat Alif diracuni oleh pimpinan Kolonel Mason, atasannya. Berikut ini adalah cuplikan kalimat yang diutarakan oleh pimpinan Kolonel Mason yang tidak diketahui namanya kepada Alif.
“Pasti yang ada di dalam otak kamu sekarang kami adalah komplotan iblis yang membuat perang dan kekacauan. Membunuh orang semau kami. Guest what… Iblis adalah makhluk yang paling dekat dengan Tuhan. Yang paling ta’at atas fungsi dan perintah Tuhan. So we are the necessary evil. We control everything.”
Adegan ini benar-benar menggambarkan bagaimana iblis menyesatkan manusia sehingga membuat manusia merasa ragu dengan kebenaran yang pegangnya. Air yang terlihat seperti api dan api yang terlihat seperti api. Benar-benar membingungkan. Sedangkan seseorang yang mukhlis digambarkan pada tokoh pimpinan Pondok Pesantren Al-Ikhlas yaitu Kiai Mukhlis. Kiai yang mampu menciptakan lingkungan pesantren yang terbuka bagi semua mazhab untuk toleransi dan hidup tentram berdampingan. Karena itulah beliau akhirnya dijebak oleh Detasemen 38: 80-83 untuk dijadikan tersangka kasus terorisme.
Bagian ini tentu dapat menjadi pengingat bagi kita bahwa tantangan umat Muslim di masa yang akan datang akan jauh lebih berat. Bahwa shaf harus dirapatkan. Muslim harus bersatu. Sebagaimana pesan dari Kiai Mukhlis kepada Mim saat dirinya ditangkap oleh aparat Negara.
“Rapatkan Shaf Mim!”
Kelebihan dan kelemahan
Kelebihan dari film ini adalah :
1. Waktu penggarapan yang singkat dibandingkan film sejenis. Pembuatan naskah 6 bulan, persiapan 3 bulan, workshop 2 bulan, syuting 26 hari, dan CGI 2 bulan. Total pengerjaan kurang lebih 1,5 tahun. Semuanya dikerjakan oleh para sineas Indonesia. Hal ini mengejutkan bagi para sineas asing.
2. Film ini mampu mengikuti festival Internasional Balinale yang diselenggaran di Bali walaupun harus berkejar-kejaran dengan waktu pengerjaan yang sangat terbatas dan deadline yang sempit.
3. 50% penonton dari film ini bukanlah orang Indonesia melainkan panitia festival dari 26 negara diseluruh dunia.
4. Film laga futuristik pertama di Indonesia.
Kelemahan dari film ini adalah :
1. Beberapa efek yang digunakan dalam film ini masih cukup kasar. Hal ini mungkin dikarenakan budget pembuatan film yang terbatas. Namun dengan budget yang terbatas, akan tetapi dapat memproduksi film sebaik ini, menurut saya film Alif Lam Mim patut untuk mendapatkan apresiasi.
2. Kompleksnya ide yang ditampilkan dalam film ini mungkin menjadi kendala penggarapan trailernya. Sehingga trailer tampil kurang meyakinkan untuk memberikan cuplikan dari isi film ini.
Penutup/ Kesimpulan
“Fight and never lose hope.”
Begitulah bunyi kalimat yang dilontarkan oleh tokoh Laras/ Kapten Nayla untuk menyemangati kita. Bahwa kita harus merenungi kutipan hadits yang digunakan untuk menutup film ini :
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing,
maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu”.
Untuk itu, janganlah pernah putus asa dan hilang harapan. Karena sebaik-baik tempat berharap hanya kepada Allah SWT. Wallahu’alam.
Afrizal Fauzan Muttaqin/ 1174020005/ KPI 7 A
Komentar
Posting Komentar